Sunday, July 6, 2014

home



LAKSAMANA TNI WIDODO A.S.

 

Saat menerima estafet kepemimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari Jenderal TNI Wiranto pada tanggal 4 November 1999 di Markas Besar TNI Cilangkap, Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto mencatat sebuah sejarah baru, yaitu sebagai perwira tinggi pertama di luar TNI Angkatan Darat yang menjadi Panglima TNI. Meskipun demikian, tantangan yang harus dihadapi serta beban yang akan dipikul oleh Laksamana Widodo A.S. pun tak kalah beratnya. Pada masa kepemimpinan Widodo A.S, posisi TNI berada di bawah titik nadir. Bergulirnya roda kepemimpinan nasional, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, memberikan dampak negatif yang luar biasa bagi citra dan penilaian masyarakat terhadap TNI. Berbagai tudingan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan pandangan negatif kerap ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI, sehingga memunculkan krisis kepercayaan diri di sebagian prajurit TNI. Tidak hanya itu, tugas berat Widodo A.S lainnya sebagai Panglima TNI, adalah mengubah paradigma dan orientasi prajurit TNI yang selama 32 tahun terlibat langsung dalam berbagai peran, fungsi dan tugas di bidang sosial politik. Keadaan ini berimplikasi terhadap soliditas antar kesatuan TNI.
Pada situasi yang demikian kompleks dan memiliki sensitifitas politik tinggi tersebut, Laksamana Widodo A.S selaku Panglima TNI dituntut untuk mampu mengakomodir aspirasi politik masyarakat yang menghendaki adanya reformasi internal di tubuh TNI, meningkatkan profesionalisme TNI dengan menjauhkannya dari dunia politik praktis serta menjaga soliditas dan kekompakan antar prajurit atau antar angkatan. Kearifan dan ketegasan dalam sikap diperlihatkan Widodo A.S saat terjadinya pergulatan politik di tingkat nasional dan kian memanasnya hubungan antar elit politik. Sebagai Panglima TNI, Widodo A.S juga dituntut untuk mampu bersikap profesional, karena menjabat saat Negara Indonesia dipimpin oleh 3 orang presiden yang berlatarbelakang berbeda-beda. Panglima TNI Laksamana TNI Widodo A.S menjadi nahkoda diantara 3 presiden.

Masa Muda.    
Widodo A.S lahir hari Selasa Kliwon tanggal 1 Agustus 1944 di Boyolali dan merupakan putera keempat dari pasangan suami-isteri Adi Sutjipto, seorang guru, dengan Siti Fatonah yang dikaruniai 5 orang anak (4 laki-laki dan 1 perempuan). Meskipun lahir di Boyolali, namun Widodo A.S melewati masa mudanya di Kota Solo, karena ayahnya pindah tugas ke kota tersebut. Kakak tertuanya, yaitu Iskandar, yang ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya bergabung dengan Tentara Pelajar, telah memberikan inspirasi tersendiri kepada pemuda Widodo A.S untuk menjalani kehidupan militer kelak.
Widodo A.S menamatkan pendidikannya di SD tahun 1956 kemudian SMP tahun 1959 dan SMA tahun 1963. Setamat SMA, Widodo diterima di Fakultas Tehnik Mesin Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanpa perlu mengikuti ujian masuk karena nilai-nilainya rata-rata di atas 8. Namun karena merasa kasihan dengan beban orangtuanya yang juga harus membiayai kuliah kedua kakaknya serta terinspirasi oleh kakaknya, Iskandar, yang telah menjadi perwira TNI AD, akhirnya Widodo mendaftarkan diri ke Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya dan AAU di Yogyakarta. Seolah nasib Widodo telah ditakdirkan untuk berkarier di TNI AL, AAL justru yang pertamakali memanggilnya. Saat Widodo diterima menjadi Kadet AAL tahun 1964, kekuatan TNI AL tengah mencapai puncaknya menjadi AL terkuat kedua di Asia.
Pada saat menjalani kehidupan sebagai Kadet AAL Angkatan XIV, terjadi peristiwa kelam di lingkungan TNI AL, yaitu munculnya Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR) yang merasa kecewa dengan kondisi di lingkungan TNI AL saat itu. Sebagai ekses dari gerakan tersebut, akhirnya seluruh Angkatan XIV dijauhkan pengaruh kadet-kadet seniornya dengan melakukan kegiatan di luar akademi sebanyak mungkin. Dinamika lainnya dialami Angkatan XIV, adalah perubahan nama dari Kadet menjadi Taruna Laut pada tanggal 29 Maret 1965. Widodo A.S bersama rekan-rekan seangkatannya dilantik menjadi perwira remaja berpangkat Letnan Muda pada tanggal 10 Desember 1968 di Dermaga Ujung, Surabaya, bersama-sama dengan alumnus AMN, AAU dan Akpol. Para perwira remaja tersebut merupakan alumnus pertama Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri), sebagai wadah pendidikan perwira yang sejalan dengan program integrasi ABRI tahun 1965, yang menempatkan pendidikan akademi dalam satu institusi.

Sebagai Perwira TNI AL.
Letnan Muda Widodo A.S mengawali kariernya di TNI AL sebagai Perwira Senjata di Divisi Meriam Serbaguna di RI Irian terhitung mulai tanggal 1 Januari 1969. RI Irian merupakan kapal penjelajah Kelas Sverdlov buatan Uni Soviet yang memperkuat TNI AL sejak tahun 1962. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 1970, Letnan Widodo mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sri Murniati. Pasangan Widodo A.S – Sri Murniati dikaruniai 3 orang anak (1 puteri dan 2 putera) dan selanjutnya 3 orang cucu. Tugas-tugas berikutnya Widodo A.S lebih banyak di daratan, yang diawali sebagai Komandan Peleton Kompi Protokol Denma Armada (1 Desember 1971), Perwira Urusan Dalam Lanal Semarang (3 Maret 1972), Kepala Seksi Operasi Keamanan Laut Lanal Semarang (1 Januari 1974), Kabag Penerangan dan Protokol Siaga PAL Surabaya (15 November 1975), Paban Muda Operasi Sops Kowilhan-IV / Hankam (1 Januari 1981) dan Paban Perencanaan dan Evaluasi Operasi Kowilhan-IV / Hankam (1 Juni 1981).
Setelah lama berdinas di darat, akhirnya Widodo A.S yang kini telah menyandang pangkat Letnan Kolonel Laut, kembali berdinas laut, yaitu terhitung tanggal 25 Juli 1985 sebagai Palaksa KRI Samadikun-341, kapal perang jenis fregat buatan Amerika Serikat Kelas Claud Jones. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1986 menjabat sebagai Komandan KRI Monginsidi-343, kapal fregat sekelas dengan Samadikun. Setelah itu, mulai tanggal 1 Februari 1988 Letkol Widodo A.S pindah tugas sebagai Komandan KRI Ki Hadjar Dewantara-364, kapal perang jenis korvet buatan Yugoslavia yang juga berfungsi sebagai kapal latih lanjut Taruna Akabri Bagian Laut. Setahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juni 1989, Letkol Widodo dipercaya sebagai Kepala Proyek Pengadaan Kapal “Van Speijk”. Saat bertugas di Belanda tersebut, Widodo A.S dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel Laut. Selesai bertugas di Belanda, terhitung tanggal 1 November 1989 Kolonel Widodo bertugas sebagai Komandan KRI Abdul Halim Pedanakusuma-355, kapal perang jenis fregat buatan Belanda dari Kelas Van Speijk.
Kemudian terhitung mulai tanggal 15 Maret 1991, Kolonel Widodo menjabat sebagai Asisten Operasi Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur. Pada saat Kol. Widodo menjabat Asops Danguspurlatim, terjadi sebuah peristiwa penting di wilayah Timor-Timur (Tim-Tim) yang kala itu masih menjadi bagian dari NKRI. Tahun 1991 terjadi kerusuhan berdarah di Kota Dili yang memancing reaksi negatif dari masyarakat internasional. Sekelompok aktifis HAM, LSM, media massa dan pendukung kemerdekaan Tim-Tim bermaksud melakukan aksi propaganda anti Indonesia dengan menggunakan sebuah kapal feri tua Portugal bernama Lusitania Expresso yang akan berlayar dari Portugal menuju Dili, Tim-Tim. Guna mencegah sekaligus menghalau kapal propaganda tersebut, Guspurlatim menggelar Operasi Aru Jaya di perairan antara Tim-Tim dengan Australia. Tindakan tegas Indonesia tersebut, akhirnya berhasil mengusir kapal Lusitania Expresso untuk meninggalkan perairan teritorial NKRI pada tanggal 11 Maret 1992.
Berkat prestasi Kolonel Widodo yang menjadi lulusan terbaik saat mengikuti Seskogab Angkatan XVIII tahun 1991-1992, Mabes ABRI menugaskannya untuk menjadi salah satu Guru Militer Sesko ABRI di Bandung. Selain menjadi Guru Militer, Kol. Widodo juga merangkap jabatan sebagai Perwira Pembantu (Paban) I Strategi dan Operasi pada Direktorat Kajian dan Pengembangan Sesko ABRI terhitung mulai 1 Oktober 1992. Pada saat menjadi Guru Militer, tahun 1993 Widodo mengikuti Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXVI Lemhanas dan lulus dengan predikat terbaik. Setelah mengikuti Lemhanas, Kolonel Widodo diangkat menjadi Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat (Guskamlabar) terhitung tanggal 15 Juli 1993, yang tak lama kemudian mulai 1 Oktober 1993 pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Pertama TNI.
Selanjutnya setahun kemudian, tepatnya mulai 1 April 1994, Laksma Widodo diangkat menjadi Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar). Setahun kemudian, Widodo A.S diangkat menjadi Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat mulai tanggal 1 Februari 1995. Seiring dengan kenaikan jabatan tersebut, pangkat Laksma Widodo A.S pun turut dinaikkan menjadi Laksamana Muda TNI mulai tanggal 1 Maret 1995. Kemudian mulai tanggal 1 Maret 1996 Laksda Widodo diangkat menjadi Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal. Selepas menjabat sebagai Asrena, Widodo diangkat menjadi Wakil Kepala Staf TNI AL (Wakasal) terhitung mulai tanggal 15 Juli 1997 dan mulai 1 Agustus pangkatnya dinaikkan menjadi Laksamana Madya TNI.
Pada tahun 1997 Indonesia diguncang krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi sehingga meletupkan gelombang aksi demonstrasi besar-besaran dari berbagai elemen masyarakat. Aksi demonstrasi massal tersebut berujung terjadinya kerusuhan sosial yang terjadi antara 13 hingga 15 Mei 1998. Guna mencegah kian berlarutnya aksi massa, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie. Setelah resmi menjabat sebagai Presiden RI ketiga, B.J. Habibie kemudian menunjuk Laksdya Widodo sebagai Kasal untuk menggantikan Laksamana TNI Arief Kushariadi mulai tanggal 26 Juni 1998. Seiring hal tersebut, terhitung tanggal 1 Februari 1999 pangkat Widodo A.S dinaikkan menjadi Laksamana TNI.

Menjadi Panglima TNI.
Laksamana TNI Widodo A.S tidak lama menjabat sebagai Kasal, karena kemudian Presiden Habibie mengangkatnya menjadi Wakil Panglima TNI mulai tanggal 17 Juli 1999. Ternyata Widodo A.S hanya 3 bulan menjabat sebagai Wakil Panglima TNI, karena Presiden RI berikutnya sesuai hasil Sidang Umum MPR 1999, yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengangkatnya menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Wiranto. Widodo A.S menjabat Panglima mulai tanggal 26 Oktober 1999. Selama Laksamana Widodo A.S menjabat sebagai Panglima TNI, kembali terjadi peristiwa genting yang nyaris membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu ketika terjadi perselisihan antara Presiden Gus Dur dengan MPR yang meminta pertanggungjawaban presiden atas terjadinya berbagai krisis politik hingga buruknya kinerja pemerintah. Presiden Gus Dur bereaksi dengan ancaman hendak mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan MPR/DPR. Akibatnya, MPR melalui Sidang Istimewa 2001 memberhentikan Gus Dur sebagai presiden keempat dan mengangkat Wapres Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima. Pada situasi yang kritis tersebut, Widodo berhasil mempertahankan profesionalitas dan netralitas TNI serta menjaga kekompakan TNI, dengan tidak memihak kepada salah satu pihak walaupun peluang itu terbuka luas. Laksamana Widodo A.S berhasil menjadi nahkoda yang tangguh dan profesional diantara 3 Presiden RI, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri.
Laksamana Widodo mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima TNI pada tanggal 18 Juni 2002 dan menyerahkan estafet kepemimpinan TNI kepada penggantinya Jenderal TNI Endriartono Sutarto. Meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Panglima TNI dan bersiap memasuki masa pensiun, tidaklah berarti Widodo A.S dapat “duduk tenang”, karena negara masih membutuhkan pengabdian dan keahliannya. Antara tahun 2002-2003, muncul Krisis Irak-Amerika Serikat yang berujung pada meletusnya perang terbuka, sehingga akibatnya memberi ekses negatif pada Warga Negara Indonesia yang bermukim di Irak. Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Megawati mengangkat Widodo sebagai Ketua Tim Nasional Penanggulangan Dampak Situasi Irak (TNPDSI) yang bertanggungjawab terhadap keseluruhan proses evakuasi WNI dari Irak.
Kemudian setelah bertugas sebagai Ketua TNPDSI, Laksamana Widodo A.S diangkat oleh Presiden RI keenam, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI (Menkopolhukam) menggantikan Hari Sabarno, yang dijabatnya antara tanggal 21 Oktober 2004 sampai 22 Oktober 2009. Selama menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S juga merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri ad-interim (2 April-29 Agustus 2007). Setelah selesai menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S diangkat menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ad-interim antara 1 Oktober sampai 22 Oktober 2009 dan selanjutnya mulai 25 Januari 2010 hingga saat ini diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.   
Atas jasa dan pengabdiannya kepada TNI, khususnya TNI AL serta negara pada umumnya, Laksamana TNI Widodo A.S dianugerahi tanda jasa berikut ini:
A.              Dalam Negeri:
1.               Bintang Mahaputera Adipradana.
2.               Bintang Dharma.
3.               Bintang Yudha Dharma Utama.
4.               Bintang Kartika Eka Paksi Utama.
5.               Bintang Jalasena Utama.
6.               Bintang Swa Bhuana Paksa Utama.
7.               Bintang Bhayangkara Utama.
8.               Bintang Yudha Dharma Pratama.
9.               Bintang Yudha Dharma Nararya.
10.           Bintang Jalasena Pratama.
11.           Bintang Jalasena Nararya.
12.           Satya Lencana Wira Dharma.
13.           Satya Lencana Penegak.
14.           Satya Lencana Gerakan Operasi Militer VII.
15.           Satya Lencana Raksaka Dharma.
16.           Satya Lencana Kesetiaan XXIV.
17.           Satya Lencana Dwidya Sistha.
18.           Penghargaan Wibawa Seroja Nugraha.
B.              Luar Negeri:
1.               Bintang Darjah Pahlawan Gagah Angkatan Tentera (Diraja Malaysia).
2.               Bintang The Meritorious Srvice Medal (Singapura).
3.               Bintang The Distinguished Service Order Military (Singapura).
4.               Bintang Darjah Paduka Keberanian Laila Terbilang Yang Amat Gemilang / Darjah Pratama (Kesultanan Brunei Darussalam).
5.               Bintang The Knight  Grand Cross of The Most Exalted Order of The White Elephant (Kerajaan Thailand).