LAKSAMANA TNI WIDODO A.S.
Saat
menerima estafet kepemimpinan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari Jenderal
TNI Wiranto pada tanggal 4 November 1999 di Markas Besar TNI Cilangkap,
Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto mencatat sebuah sejarah baru, yaitu sebagai
perwira tinggi pertama di luar TNI Angkatan Darat yang menjadi Panglima TNI.
Meskipun demikian, tantangan yang harus dihadapi serta beban yang akan
dipikul oleh Laksamana Widodo A.S. pun tak kalah beratnya. Pada masa
kepemimpinan Widodo A.S, posisi TNI berada di bawah titik nadir. Bergulirnya
roda kepemimpinan nasional, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, memberikan
dampak negatif yang luar biasa bagi citra dan penilaian masyarakat terhadap
TNI. Berbagai tudingan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan pandangan
negatif kerap ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI, sehingga memunculkan
krisis kepercayaan diri di sebagian prajurit TNI. Tidak hanya itu, tugas
berat Widodo A.S lainnya sebagai Panglima TNI, adalah mengubah paradigma dan
orientasi prajurit TNI yang selama 32 tahun terlibat langsung dalam berbagai
peran, fungsi dan tugas di bidang sosial politik. Keadaan ini berimplikasi
terhadap soliditas antar kesatuan TNI.
Pada
situasi yang demikian kompleks dan memiliki sensitifitas politik tinggi
tersebut, Laksamana Widodo A.S selaku Panglima TNI dituntut untuk mampu
mengakomodir aspirasi politik masyarakat yang menghendaki adanya reformasi
internal di tubuh TNI, meningkatkan profesionalisme TNI dengan menjauhkannya
dari dunia politik praktis serta menjaga soliditas dan kekompakan antar
prajurit atau antar angkatan. Kearifan dan ketegasan dalam sikap
diperlihatkan Widodo A.S saat terjadinya pergulatan politik di tingkat
nasional dan kian memanasnya hubungan antar elit politik. Sebagai Panglima
TNI, Widodo A.S juga dituntut untuk mampu bersikap profesional, karena
menjabat saat Negara Indonesia dipimpin oleh 3 orang presiden yang
berlatarbelakang berbeda-beda. Panglima TNI Laksamana TNI Widodo A.S menjadi
nahkoda diantara 3 presiden.
Masa
Muda.
Widodo
A.S lahir hari Selasa Kliwon tanggal 1 Agustus 1944 di Boyolali dan merupakan
putera keempat dari pasangan suami-isteri Adi Sutjipto, seorang guru, dengan
Siti Fatonah yang dikaruniai 5 orang anak (4 laki-laki dan 1 perempuan).
Meskipun lahir di Boyolali, namun Widodo A.S melewati masa mudanya di Kota
Solo, karena ayahnya pindah tugas ke kota tersebut. Kakak tertuanya, yaitu
Iskandar, yang ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya bergabung
dengan Tentara Pelajar, telah memberikan inspirasi tersendiri kepada pemuda Widodo
A.S untuk menjalani kehidupan militer kelak.
Widodo
A.S menamatkan pendidikannya di SD tahun 1956 kemudian SMP tahun 1959 dan SMA
tahun 1963. Setamat SMA, Widodo diterima di Fakultas Tehnik Mesin Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, tanpa perlu mengikuti ujian masuk karena
nilai-nilainya rata-rata di atas 8. Namun karena merasa kasihan dengan beban
orangtuanya yang juga harus membiayai kuliah kedua kakaknya serta
terinspirasi oleh kakaknya, Iskandar, yang telah menjadi perwira TNI AD,
akhirnya Widodo mendaftarkan diri ke Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya
dan AAU di Yogyakarta. Seolah nasib Widodo telah ditakdirkan untuk berkarier
di TNI AL, AAL justru yang pertamakali memanggilnya. Saat Widodo diterima
menjadi Kadet AAL tahun 1964, kekuatan TNI AL tengah mencapai puncaknya
menjadi AL terkuat kedua di Asia.
Pada
saat menjalani kehidupan sebagai Kadet AAL Angkatan XIV, terjadi peristiwa
kelam di lingkungan TNI AL, yaitu munculnya Gerakan Perwira Progresif
Revolusioner (GPPR) yang merasa kecewa dengan kondisi di lingkungan TNI AL
saat itu. Sebagai ekses dari gerakan tersebut, akhirnya seluruh Angkatan XIV
dijauhkan pengaruh kadet-kadet seniornya dengan melakukan kegiatan di luar
akademi sebanyak mungkin. Dinamika lainnya dialami Angkatan XIV, adalah perubahan
nama dari Kadet menjadi Taruna Laut pada tanggal 29 Maret 1965. Widodo A.S
bersama rekan-rekan seangkatannya dilantik menjadi perwira remaja berpangkat
Letnan Muda pada tanggal 10 Desember 1968 di Dermaga Ujung, Surabaya,
bersama-sama dengan alumnus AMN, AAU dan Akpol. Para perwira remaja tersebut
merupakan alumnus pertama Akademi Angkatan Bersenjata RI (Akabri), sebagai
wadah pendidikan perwira yang sejalan dengan program integrasi ABRI tahun
1965, yang menempatkan pendidikan akademi dalam satu institusi.
Sebagai
Perwira TNI AL.
Letnan
Muda Widodo A.S mengawali kariernya di TNI AL sebagai Perwira Senjata di
Divisi Meriam Serbaguna di RI Irian terhitung mulai tanggal 1 Januari
1969. RI Irian merupakan kapal penjelajah Kelas Sverdlov buatan Uni
Soviet yang memperkuat TNI AL sejak tahun 1962. Kemudian pada tanggal 24
Oktober 1970, Letnan Widodo mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sri
Murniati. Pasangan Widodo A.S – Sri Murniati dikaruniai 3 orang anak (1
puteri dan 2 putera) dan selanjutnya 3 orang cucu. Tugas-tugas berikutnya
Widodo A.S lebih banyak di daratan, yang diawali sebagai Komandan Peleton
Kompi Protokol Denma Armada (1 Desember 1971), Perwira Urusan Dalam Lanal
Semarang (3 Maret 1972), Kepala Seksi Operasi Keamanan Laut Lanal Semarang (1
Januari 1974), Kabag Penerangan dan Protokol Siaga PAL Surabaya (15 November
1975), Paban Muda Operasi Sops Kowilhan-IV / Hankam (1 Januari 1981) dan
Paban Perencanaan dan Evaluasi Operasi Kowilhan-IV / Hankam (1 Juni 1981).
Setelah
lama berdinas di darat, akhirnya Widodo A.S yang kini telah menyandang
pangkat Letnan Kolonel Laut, kembali berdinas laut, yaitu terhitung tanggal
25 Juli 1985 sebagai Palaksa KRI Samadikun-341, kapal perang jenis
fregat buatan Amerika Serikat Kelas Claud Jones. Kemudian mulai tanggal 1
Juli 1986 menjabat sebagai Komandan KRI Monginsidi-343, kapal fregat
sekelas dengan Samadikun. Setelah itu, mulai tanggal 1 Februari 1988
Letkol Widodo A.S pindah tugas sebagai Komandan KRI Ki Hadjar
Dewantara-364, kapal perang jenis korvet buatan Yugoslavia yang juga
berfungsi sebagai kapal latih lanjut Taruna Akabri Bagian Laut. Setahun
kemudian tepatnya tanggal 28 Juni 1989, Letkol Widodo dipercaya sebagai
Kepala Proyek Pengadaan Kapal “Van Speijk”. Saat bertugas di Belanda
tersebut, Widodo A.S dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel Laut. Selesai
bertugas di Belanda, terhitung tanggal 1 November 1989 Kolonel Widodo
bertugas sebagai Komandan KRI Abdul Halim Pedanakusuma-355, kapal
perang jenis fregat buatan Belanda dari Kelas Van Speijk.
Kemudian
terhitung mulai tanggal 15 Maret 1991, Kolonel Widodo menjabat sebagai
Asisten Operasi Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur. Pada saat Kol.
Widodo menjabat Asops Danguspurlatim, terjadi sebuah peristiwa penting di
wilayah Timor-Timur (Tim-Tim) yang kala itu masih menjadi bagian dari NKRI.
Tahun 1991 terjadi kerusuhan berdarah di Kota Dili yang memancing reaksi
negatif dari masyarakat internasional. Sekelompok aktifis HAM, LSM, media
massa dan pendukung kemerdekaan Tim-Tim bermaksud melakukan aksi propaganda
anti Indonesia dengan menggunakan sebuah kapal feri tua Portugal bernama Lusitania
Expresso yang akan berlayar dari Portugal menuju Dili, Tim-Tim. Guna
mencegah sekaligus menghalau kapal propaganda tersebut, Guspurlatim menggelar
Operasi Aru Jaya di perairan antara Tim-Tim dengan Australia. Tindakan tegas
Indonesia tersebut, akhirnya berhasil mengusir kapal Lusitania Expresso
untuk meninggalkan perairan teritorial NKRI pada tanggal 11 Maret 1992.
Berkat
prestasi Kolonel Widodo yang menjadi lulusan terbaik saat mengikuti Seskogab
Angkatan XVIII tahun 1991-1992, Mabes ABRI menugaskannya untuk menjadi salah
satu Guru Militer Sesko ABRI di Bandung. Selain menjadi Guru Militer, Kol.
Widodo juga merangkap jabatan sebagai Perwira Pembantu (Paban) I Strategi dan
Operasi pada Direktorat Kajian dan Pengembangan Sesko ABRI terhitung mulai 1
Oktober 1992. Pada saat menjadi Guru Militer, tahun 1993 Widodo mengikuti
Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXVI Lemhanas dan lulus dengan predikat
terbaik. Setelah mengikuti Lemhanas, Kolonel Widodo diangkat menjadi Komandan
Gugus Keamanan Laut Armada Barat (Guskamlabar) terhitung tanggal 15 Juli
1993, yang tak lama kemudian mulai 1 Oktober 1993 pangkatnya dinaikkan
menjadi Laksamana Pertama TNI.
Selanjutnya
setahun kemudian, tepatnya mulai 1 April 1994, Laksma Widodo diangkat menjadi
Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar). Setahun kemudian,
Widodo A.S diangkat menjadi Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat mulai
tanggal 1 Februari 1995. Seiring dengan kenaikan jabatan tersebut, pangkat
Laksma Widodo A.S pun turut dinaikkan menjadi Laksamana Muda TNI mulai
tanggal 1 Maret 1995. Kemudian mulai tanggal 1 Maret 1996 Laksda Widodo
diangkat menjadi Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal. Selepas
menjabat sebagai Asrena, Widodo diangkat menjadi Wakil Kepala Staf TNI AL
(Wakasal) terhitung mulai tanggal 15 Juli 1997 dan mulai 1 Agustus pangkatnya
dinaikkan menjadi Laksamana Madya TNI.
Pada
tahun 1997 Indonesia diguncang krisis moneter yang berujung pada krisis multidimensi
sehingga meletupkan gelombang aksi demonstrasi besar-besaran dari berbagai
elemen masyarakat. Aksi demonstrasi massal tersebut berujung terjadinya
kerusuhan sosial yang terjadi antara 13 hingga 15 Mei 1998. Guna mencegah
kian berlarutnya aksi massa, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dan
digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie. Setelah resmi menjabat sebagai
Presiden RI ketiga, B.J. Habibie kemudian menunjuk Laksdya Widodo sebagai
Kasal untuk menggantikan Laksamana TNI Arief Kushariadi mulai tanggal 26 Juni
1998. Seiring hal tersebut, terhitung tanggal 1 Februari 1999 pangkat Widodo
A.S dinaikkan menjadi Laksamana TNI.
Menjadi
Panglima TNI.
Laksamana
TNI Widodo A.S tidak lama menjabat sebagai Kasal, karena kemudian Presiden
Habibie mengangkatnya menjadi Wakil Panglima TNI mulai tanggal 17 Juli 1999.
Ternyata Widodo A.S hanya 3 bulan menjabat sebagai Wakil Panglima TNI, karena
Presiden RI berikutnya sesuai hasil Sidang Umum MPR 1999, yaitu Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), mengangkatnya menjadi Panglima TNI menggantikan Jenderal TNI
Wiranto. Widodo A.S menjabat Panglima mulai tanggal 26 Oktober 1999. Selama
Laksamana Widodo A.S menjabat sebagai Panglima TNI, kembali terjadi peristiwa
genting yang nyaris membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu
ketika terjadi perselisihan antara Presiden Gus Dur dengan MPR yang meminta
pertanggungjawaban presiden atas terjadinya berbagai krisis politik hingga
buruknya kinerja pemerintah. Presiden Gus Dur bereaksi dengan ancaman hendak
mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan MPR/DPR. Akibatnya, MPR melalui
Sidang Istimewa 2001 memberhentikan Gus Dur sebagai presiden keempat dan
mengangkat Wapres Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima. Pada
situasi yang kritis tersebut, Widodo berhasil mempertahankan profesionalitas
dan netralitas TNI serta menjaga kekompakan TNI, dengan tidak memihak kepada
salah satu pihak walaupun peluang itu terbuka luas. Laksamana Widodo A.S
berhasil menjadi nahkoda yang tangguh dan profesional diantara 3 Presiden RI,
yaitu B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri.
Laksamana
Widodo mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima TNI pada tanggal 18 Juni
2002 dan menyerahkan estafet kepemimpinan TNI kepada penggantinya Jenderal
TNI Endriartono Sutarto. Meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai Panglima
TNI dan bersiap memasuki masa pensiun, tidaklah berarti Widodo A.S dapat
“duduk tenang”, karena negara masih membutuhkan pengabdian dan keahliannya.
Antara tahun 2002-2003, muncul Krisis Irak-Amerika Serikat yang berujung pada
meletusnya perang terbuka, sehingga akibatnya memberi ekses negatif pada
Warga Negara Indonesia yang bermukim di Irak. Berkaitan dengan hal tersebut,
Presiden Megawati mengangkat Widodo sebagai Ketua Tim Nasional Penanggulangan
Dampak Situasi Irak (TNPDSI) yang bertanggungjawab terhadap keseluruhan
proses evakuasi WNI dari Irak.
Kemudian
setelah bertugas sebagai Ketua TNPDSI, Laksamana Widodo A.S diangkat oleh
Presiden RI keenam, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI (Menkopolhukam) menggantikan Hari
Sabarno, yang dijabatnya antara tanggal 21 Oktober 2004 sampai 22 Oktober
2009. Selama menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S juga merangkap
sebagai Menteri Dalam Negeri ad-interim (2 April-29 Agustus 2007). Setelah
selesai menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S diangkat menjadi Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara ad-interim antara 1 Oktober sampai 22
Oktober 2009 dan selanjutnya mulai 25 Januari 2010 hingga saat ini diangkat sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Atas
jasa dan pengabdiannya kepada TNI, khususnya TNI AL serta negara pada
umumnya, Laksamana TNI Widodo A.S dianugerahi tanda jasa berikut ini:
A.
Dalam Negeri:
1.
Bintang Mahaputera Adipradana.
2.
Bintang Dharma.
3.
Bintang Yudha Dharma
Utama.
4.
Bintang Kartika Eka
Paksi Utama.
5.
Bintang Jalasena Utama.
6.
Bintang Swa Bhuana
Paksa Utama.
7.
Bintang Bhayangkara
Utama.
8.
Bintang Yudha Dharma
Pratama.
9.
Bintang Yudha Dharma
Nararya.
10.
Bintang Jalasena
Pratama.
11.
Bintang Jalasena
Nararya.
12.
Satya Lencana Wira
Dharma.
13.
Satya Lencana Penegak.
14.
Satya Lencana Gerakan
Operasi Militer VII.
15.
Satya Lencana Raksaka
Dharma.
16.
Satya Lencana Kesetiaan
XXIV.
17.
Satya Lencana Dwidya
Sistha.
18.
Penghargaan Wibawa
Seroja Nugraha.
B.
Luar Negeri:
1.
Bintang Darjah Pahlawan
Gagah Angkatan Tentera (Diraja Malaysia).
2.
Bintang The Meritorious
Srvice Medal (Singapura).
3.
Bintang The
Distinguished Service Order Military (Singapura).
4.
Bintang Darjah Paduka
Keberanian Laila Terbilang Yang Amat Gemilang / Darjah Pratama (Kesultanan
Brunei Darussalam).
5.
Bintang The
Knight Grand Cross of The Most Exalted Order of The White Elephant
(Kerajaan Thailand).
|